Childhood Memories: Acting!

Bermain peran adalah salah satu hal yang ingin aku lakukan ketika sekolah dasar. Keinginan itu bisa jadi berasal dari kesukaanku pada storytelling yang juga mengharuskan aku secara tidak langsung bermonolog disamping menyampaikan narasi cerita. Juga, banyak hal tentang acting yang sangat menarik bagiku. Lalu ketika aku kelas lima, sebuah ekstrakurikuler baru muncul di sekolah yang bernama BK. 

***

Bina Karya, sebuah ekstrakurikuler baru yang muncul untuk membangun minat dan bakat dalam ekspresi sastra melalui media manusia. Pembina yang pertama seingatku adalah guru bahasa Indonesia yang kemudian mengajarkan tentang membaca puisi dengan indah sebagaimana diksi dan pesan yang ada di dalamnya. Aku tak seberapa ingat mengenai awal mula mengikuti ekstrakurikuler itu, tapi ada beberapa pengalamanku seiring berjalannya keikutsertaan dalam kegiatan itu. Selanjutnya, dalam waktu sekitar satu bulan, sekolah mempekerjakan seorang pelatih yang sudah mahir dalam dunia teater. Arah ekstrakurikuler itu menjadi lebih menarik lagi buatku, karena kita benar-benar dilatih dengan harapan bisa tampil satu hari nanti. 

Aku ingat salah satu hal yang pertama diajarkan adalah tentang penghayatan untuk bisa menangis. Latihan itu dilakukan sembari duduk dengan keadaan ruangan hening. Sambil menutup mata, kami diminta membayangkan satu pengalaman yang menyedihkan sampai kita bisa meneteskan air mata. Aku berusaha melakukan sesuai instruksi, tapi kemampuanku ternyata belum sampai bisa memilih peristiwa yang menyedihkan untuk penghayatan itu. Pada akhirnya, aku tidak menangis ataupun terbawa suasana yang sendu. Padahal, ada beberapa temanku yang bisa melakukannya. Saat aku membuka mata, aku tidak merasakan adanya setitik kesedihan yang terbawa ke alam sadarku. Seingatku aku terlalu bersemangat dengan ekskul itu sampai aku tidak mampu memanipulasi imajinasi yang seharusnya dibangun dalam latihan itu. Akhirnya, aku tidak fokus pada arahan yang seharusnya melainkan hanya mencoba melakukannya. 

Pertemuan-pertemuan berikutnya, kami mulai diminta untuk mencoba memainkan peran dengan sebuah alur singkat. Aku ingat secara berkelompok, kami diberikan sebuah alur berupa adanya seseorang yang dikasihi meninggal dunia. Adegan dimainkan tanpa dialog, hanya melalui ekspresi dan gestur tubuh. 

Setelah berbagi peran, satu teman laki-laki berperan menjadi mayat, aku adalah orang yang berkabung dan harus menutupkan kain jarik sampai wajah tidak terlihat, dan beberapa temanku mencoba menenangkan. Kami sempat latihan sebelum akhirnya harus benar-benar tampil di saat hari ekstrakurikuler untuk disaksikan dan dievaluasi oleh pelatihnya. Di saat latihan, aku masih kesulitan untuk menghayati peran dan seringkali berakhir tertawa ketika mencoba menutupkan kain. Kami juga melakukan beberapa penyesuaian dari arah kedatanganku seolah baru memasuki ruangan kemudian duduk di samping mayat dan merenung sesaat sebelum akhirnya menutupkan kain. Kami terus latihan sampai tidak lagi ada yang tertawa ketika adegan berlangsung. Bisa jadi itu karena akhirnya kami berhasil membawakan perasaan yang ingin disampaikan atau mungkin kami sudah terlalu lelah dan ingin cepat pulang.

***

Hari untuk menunjukkan hasil latihan mandiri kami akhirnya tiba. 

Seorang mayat laki-laki terbaring di depan ruangan dengan kain jarik terhampar di atasnya sampai batas dada. Aku datang dengan perasaan berkabung mengetahui orang yang aku kasihi telah meninggal dunia. Kesedihanku tak terbendung hingga aku menangis tersedu-sedu mengabadikan wajahnya dalam ingatanku untuk terakhir kali. Akulah yang harus menutup kain itu, aku harus mengikhlaskannya. Setidaknya masih ada seorang teman yang di sisiku menguatkan untuk bisa melepaskan kekasih hatiku sebelum akhirnya aku tidak lagi mampu melihatnya. Aku pergi meninggalkan kekasihku, tak sanggup melihatnya dibawa pergi dengan keranda menuju peristirahatan terakhirnya. 

Perasaan itu yang seharusnya terwujud dalam peran yang aku mainkan. Penghayatan itu yang seharusnya sampai pada penonton yang ada di ruang kelas melihat pertunjukan singkatku dan beberapa teman. Namun, aku masih belum bisa melakukannya. Untuk menutupi keinginan tertawa, aku menutup mulutku seolah itu adalah tangisan tanpa suara. Pada akhirnya aku tidak puas dengan apa yang aku tampilkan. Tidak ada tanggapan berarti dari pelatih kami atau setidaknya itu yang aku ingat.

Pengalaman itu cukup berkesan buatku, akhirnya aku bisa benar-benar bermain peran ketika seringkali aku hanya berimajinasi sedang menjadi artis yang ber-acting dalam sebuah sinetron. Sebenarnya ada latihan-latihan lain dengan peran yang berbeda, tapi aku tidak terlalu ingat prosesnya. Aku hanya ingat, terakhir aku dan teman-teman satu angkatanku mengikuti ekskul itu adalah bahwa kisah selanjutnya yang kami latih adalah cerita rakyat yang berkisah tentang Calon Arang. Saat itu, pelatih kami cukup banyak bercerita tentang harapan bahwa kami akan bisa benar-benar tampil dalam sebuah pentas teater. Namun, hal itu tidak terwujud karena akhirnya kami sudah memasuki kelas enam dan mulai tidak bisa mengikuti ekstrakurikuler lagi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Childhood Memories: JKT 48

Diri yang Berkembang: Peran