Cerpen: Hanya Sebuah Kata

Hari itu ia hanya termenung mengingat semua yang telah terjadi, berfikir ialah korban dari keegoisan orang lain. Hatinya tak didengar, menyuarakan apa yang tak ingin ia sadari. Ia sendiri mencoba melawan anggapan buruk tentang dirinya. Tak terima dikatakan seperti yang sudah didengar karena satu keyakinannya, merekalah yang salah, tak peduli apapun penjelasan yang terucap, ucapan mereka hanyalah kebohongan.

“Kamu yang mengatakan akan saling mendukung dan berjuang besama mencapai tujuan kita masing-masing tapi kamu sendiri yang berlari dengan menjatuhkan orang lain, bukan aku yang bahkan masih mencoba untuk mengejar dan menggapai kamu untuk tetap berjalan beriringan. Kamu hanya terus memutus tali yang coba diikat kembali. Entah apa yang merubahmu menjadi orang yang egois, kamu lupa sama orang yang ada disekitarmu untuk mewujudkan keinginanmu sendiri. Dulu kamu selalu mempedulikan orang lain melebihi dirimu sendiri tapi sekarang kamu seperti kacang lupa kulitnya. Kalau kamu berfikir kami yang tidak ada disisimu, coba tanyakan pada hatimu apakah itu yang benar-benar terjadi?” itulah kata-kata yang diucapkan salah seorang terdekatnya kemarin malam.

Hal itu terucap ketika ia menanyakan mengapa orang itu menjauhiya ketika ia sedang mewujudkan satu ambisinya. Saat menanyakannyapun ekspresinya seolah meremehkan dia yang duduk berhadapan dengannya.

***

Tiga hari sejak perdebatan itu, ia mencoba menenangkan hatinya dengan menjauh. Ia merasa baik-baik saja tanpa orang yang telah ia kenal sejak kecil itu dengan anggapan apa yang telah ia raih sekarang menjadi modal untuk mudah mendapatkan teman baru. Tapi itu tak berjalan lama, temannya memang banyak tetapi tetap saja ada yang kurang. Ia merindukan kebersamaan dan kebiasaan mereka.

Ia mencoba memahami maksud perkataan orang itu. Dengan apa yang dimilikinya dan sebuah pencapaian yang telah ia dapat, ia selalu membantu ketika dilhatnya ada yang membutuhkan. Ia selalu melakukannya dihapadan orang itu. Walau begitu usahanya tak membuahkan hasil karena orang itu tetap saja manjauh.

Kembali merenung adalah satu-satunya cara untuk menyadari kesalahannya kali ini. Namun tetap saja ia merasa tak ada yang salah, justru ia mulai berpikir orang itu membencinya. Sampai satu hari ia berpapasan, 
“Apa sebesar itu kesalahanku sampai kau membenciku? Aku sudah mencoba untuk kembali peduli. Kamu yang bilang aku berubah jadi orang yang tidak peduli, egois. Aku sudah memperbaikinyakan? Aku selalu siap memberikan bantuan dan aku mencoba untuk selalu peka terhadap situasi lingkungan sekitar dan aku tahu kamu selalu melihat itu. Apa itu tak cukup membuktikan bahwa aku tidak seperti yang kau katakan?”
“Belum. Yang kamu lakukan belum membuktikan apapun. Kau belum menyadari apa maksudku. Pikirkan lagi,” ucap orang itu berjalan meninggalkannya. 

Ia mulai putus asa dan keluarlah sebuah kata yang tulus,

“Maaf….”

Orang itu mendengarnya dan berbalik dengan senyuman diwajahnya.
Saat itu juga ia menyadari bahwa sampai satu detik sebelum kata itu terucap kesalahannya adalah terlalu malu mengucap maaf dan ia tak tulus melakukan semua kebaikan itu.


Aku yang egois selama ini. Aku yang menjauh dan mengatakan hal yang menyakitkan. Aku yang mengubah ambisiku menjadi obsesi yang membutakan pikiranku. Akulah yang selalu berpikir negatif. Dan aku terlalu malu mengatakan satu kata, Maaf. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Childhood Memories: JKT 48

Tentang Menjadi Muslimah: Ikhlas

Diri yang Berkembang: Peran