Childhood Memories: Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Aku selalu menyukai berbagai hal yang berhubungan dengan bahasa. Aku suka membaca, menulis, dan mengoreksi kaidah kebahasaan. Kesukaanku tidak terbatas pada bahasa Indonesia saja, aku juga suka dengan bahasa asing maupun daerah. Namun, itu bukan berarti aku mahir dalam semuanya, lebih pada aku suka dengan proses sehari-hari yang berhubungan dengan linguistik. Aku suka menyerap kata-kata baru dan sesegera mungkin menggunakannya. Kadang ada masa ketika aku melupakan diksi yang lebih umum dan berakhir menggukaan padanan kata yang terlalu baku. Kendati demikian, hal ini juga bergantung pada konteks dan sumber bacaan yang sedang aku nikmati dalam kurun waktu itu. Nah, karena aku lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, aku punya lebih banyak ingatan tentang itu di masa kecil.
Salah satu indikator aku sangat menyukai kebahasaan adalah dari bagaimana hampir selalu lebih ingat dengan materi sekolah tentang bahasa Indonesia. Di waktu SMP misalnya, ketika teman-temanku lupa cara menuliskan mata uang dan nominalnya, aku bisa dibilang satu-satunya di kelas yang mengingatnya saat itu. Buktinya dilihat ketika kami pembahasan ujian bersama-sama dengan guru.
Penulisan nominal uang yang benar adalah Rp10.000 bukan Rp 10.000 atau Rp.10.000
Ada juga satu peristiwa di masa yang lebih kecil lagi, kelas 1 atau 2 ketika aku masih bersekolah di dekat rumah. Di satu siang, aku bermain bersama teman yang merupakan tetangga dan ada adikku yang masih TK. Saat itu di RT sebelah sedang ada acara menggunakan tenda putih besar di tengah jalan. Kami yang biasanya bisa bersepedah melewati jalan itu akhirnya harus berbalik arah dan mencari area lain. Ketika itu, bercandaanku dan teman-teman adalah,
"Ayo, coba masuk ke situ, lihat-lihat itu acaranya siapa."
Nah, tapi ya bercandanya kami, ya bercanda. Tidak benar-benar sampai masuk. Namun, adikku entah bagaimana tidak aku temui ketika kembali ke rumah. Aku panik karena takut adikku benar-benar masuk ke acara itu. Aku yang tidak berani memanggil ke dalam area tenda akhirnya segera berbalik pulang mencari orang tuaku. Ketika sampai rumah, dengan lantangnya aku katakan,
"Ma, adek lancang masuk ke acara di RT sana."
Menurutmu adakah yang salah dari ucapan itu? Kalau dibaca sekarang sebenarnya tidak benar-benar ada yang salah atau aneh. Tapi bagiku yang menyimpan memori itu sampai sekarang, perasaan tidak lama setelah peristiwa itu adalah memalukan. Aku merasa malu karena dengan percaya dirinya menggunakan kata yang baru aku dapatkan entah dari televisi atau media apa. Aku menggunakan kata 'lancang' yang setelah aku pelajari merupakan sebuah ungkapan yang cukup berat. Seolah-oleh perbuatan adikku adalah sebuah dosa besar. Padahal setelahnya pun ternyata adikku yang masuk ke acara itu bukan hal yang salah. Itu adalah acara yang umum dan wajar saja ada anak-anak yang masuk.
Kalau mendeskripsikan perasaan sekarang, ya, itu sebuah pengalaman yang tidak lucu tapi tidak memalukan juga. Biasa saja. Hanya sebuah proses pembelajaran yang aku lalui dari kemampuan berbahasaku. Dari kesukaanku yang ketika menemukan sebuah kata baru, aku akan berusaha menggunakannya untuk hal-hal apapun yang bisa jadi tidak sepenuhnya tepat.
Nah, sekarang setelah proses pembelajaran. Salah satu pedoman yang aku gunakan dalam berbahasa adalah 'Baik dan Benar' bukan baik saja atau bukan benar saja. Itu adalah sebuah pembelajaran yang aku dapatkan dari guru bahasa Indonesia di masa SMP kalau tidak salah ingat. Berbahasa yang baik dan benar artinya menggunakan diksi yang menyesuaikan konteks dan situasi percakapan atau tulisan dilakukan. Jika aku menulis untuk menggambarkan tokoh yang serampangan, berarti bahasanya pun tidak baku. Jika aku menulis atau berbicara untuk hal-hal formal, berarti aku harus menyesuaikan diksi yang baku dan sesuai kaidah kebahasaan yang benar. Tidak menggunakan bahasa baku di setiap kesempatan.
Namun, salah satu temanku mengatakan bahwa aku termasuk orang yang cara bicaranya cukup formal dalam arti hampir selalu menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Bukan kata-kata yang sudah disederhanakan atau bercampur dengan bahasa daerah. Baru-baru ini dia yang mengatakan bahwa percakapanku dengan salah satu sahabatku terlihat seperti menonton film Barbie yang sudah disulihsuarakan dengan bahasa Indonesia. Maksudnya, cara kami bercakap-cakap itu menggunahan bahasa Indonesia yang cukup baku, tidak menggunakan bahasa gaul, atau penyederhanaan. Contohnya ketika mengucapkan, 'mengatakan' bukan 'ngomong'. Awalnya aku tidak begitu sadar tentang hal itu karena itu sudah menjadi kebiasaan. Namun, sebenarnya itu lebih menyesuaikan dengan gaya bahasa orang yang sedang aku hadapi.
Sekarang, aku merasa sering ragu dengan kaidah kebahasaanku karena adanya beberapa perubahan di EYD V dan terbiasa melihat penulisan yang tidak selalu benar. Akhirnya, lebih sering mengikuti kebiasaan yang ada di masyarakat saja. Bisa jadi, di tulisan ini pun ada kaidah yang tidak tepat dan dengan sangat terbuka aku menerima koreksi dari teman-teman.
Oiya, ada satu lagi yang aku ingat ketika SD. Ada guruku yang pernah mengatakan bahwa sekarang sudah jarang anak yang menggunakan kata ganti pertama berupa 'saya' terutama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Menurut beliau, itu kurang sopan dan menunjukkan ego ke'aku'an. Karena itu, aku pernah merasa sangat risih di lingkungan-lingkungan tertentu orang menggunakan 'aku' bukan 'saya' sampai akhirnya di saat tertentu aku juga jadi bingung, baiknya mengikuti orang di lingkungan itu atau tetap menggunakan 'saya' untuk konteks-konteks formal. Bagaimana menurutmu?
*Jikalau ada yang bingung, arti sulih suara adalah dubbing.
**Tambahan informasi beberapa kata yang aku tahu sering salah tulis.
- Silahkan seharusnya silakan
- Analisa seharusnya analisis
- Kerjasama seharusnya kerja sama
Komentar
Posting Komentar