Diri yang Berkembang: Novel, Empati, dan Bahasa

Tulisan kali ini diawali dengan tujuan melanjutkan series Diri yang Berkembang tentang Daily Planner. Terhitung satu bulan lebih sejak aku pertama menata kembali aktivitas harianku melalui pembuatan jadwal di hari sebelumnya. Nah, ini adalah evaluasi sekaligus apresiasi untuk diriku sendiri. 

Disiplin dengan Daily Planner nyatanya tidak semudah itu dan sering aku membuat kompromi dengan diriku sendiri. Mungkin lebih tepat untuk aku katakan justifikasi (alasan) bahwa aku setidaknya masih melakukannya. Pernah ada fase dalam rentang sebulanan ini aku melewatkan membuat jadwal selama empat hari dan berakhir aku mengais-ngais memori kegiatan dan perasaanku pada hari yang aku lewatkan. Satu komitmen yang tidak boleh hilang dari proses ini adalah setiap hari harus ada catatannya entah banyak atau sedikit atau kapan waktu menuliskannya. Jadi, ya aku tetap harus mencatatnya seingatku. Pada saat melewatkan membuat jadwal, pengaruhnya memang signifikan. Aku jadinya juga lupa kegiatan wajib yang sudah aku susun untuk hari tersebut, dan alhasil cenderung menjadi tidak produktif. Biasanya screen time di ponsel genggam menjadi lebih banyak dari yang seharusnya. Namun, tulisan kali ini yang ingin aku soroti dari rentang waktu sebulan ini ada satu pencapaian yang sangat ingin aku abadikan. 

Aku berhasil menyelesaikan dua novel berbahasa Inggris yang memiliki lebih dari 300-an halaman!

***

Aku memang suka membaca sejak kecil tetapi terakhir kali membaca buku fisik secara rutin adalah ketika SMP. Semasa SMP sekolahku sangat dekat dengan perpustakaan kota sehingga aku hampir selalu menyempatkan setiap minggu meminjam buku yang lebih sering berupa novel. Di SMA, aku hanya membaca buku yang aku beli (dan dalam satu tahun hanya satu sampai dua buku). Selebihnya aku pembaca Wattpad yang genrenya sudah terlalu didominasi romansa dengan latar belakang kehidupan sehari-hari. Alhasil, itu membuatku terlena dengan kisah-kisah ringan dan menjadi semakin malas untuk membaca buku fisik yang berdasarkan 'idealisme'ku, aku ingin buku yang bisa aku pegang memiliki konten yang tidak sesederhana itu. Pemikiran itu terutama karena genre buku yang aku suka di awal adalah fantasi sejenis Harry Potter. Padahal aku pun belum pernah tuntas membaca Harry Potter. Di kuliah, tidak sampai 10 dalam rentang 3 tahun buku yang aku baca dari awal sampai tuntas. Seingatku aku juga belum pernah selesai membaca buku tentang sejarah ataupun nonfiksi meskipun aku mengaku bahwa aku menyukai sejarah.

Sebuah fun fact or at least a reminder for myself, ada dua buku yang sangat aku ingat pernah aku baca dari masa SMP yang ceritanya sangat melekat tentang permasalahan psikologis yang seingatku pada masa itu aku belum terpikir untuk mengambil jurusan psikologi di perkuliahan. Saat itu aku masih sangat terfokus pada menjadi dokter medis. 

Nah, kali ini aku berhasil membaca dua buku dengan genre yang cukup berat: politik pada latar kerajaan dalam bahasa Inggris. Aku membeli bukunya di Big Bad Wolf tahun 2023 karena tertarik dengan penggambaran tokoh yang ada unsur fantasinya. Berniat membaca segera setelah membelinya berakhir aku malas karena bahasanya tidak sederhana dan butuh mengalokasikan waktu khusus untuk memahaminya. 

Melalui pemetaan tujuan dan rencana-rencana di semester ini kemudian aku rinci kegiatan yang bisa dilakukan sebagai usaha jangka pendek dan menengah, akhirnya salah satu kegiatan yang termasuk di dalamnya adalah membaca buku seminimalnya 30 menit dalam sehari. Dengan begitu aku memulai membaca buku berjudul Torn karya Rowenna Miller yang aku beli setahun lalu itu. Awalnya aku memaksa diri dan mencari formula untuk bisa memahami dan lebih terbiasa dengan bahasa Inggris. Seiring perkembangannya aku mencoba menikmati semampuku dalam mengimajinasikan yang bisa aku pahami selama tidak tertinggal alur yang disampaikan dalam buku itu. 

Ceritanya tentang seorang perempuan yang memiliki usaha sejenis butik dengan keistimewaan bisa memantrai pakaiannya. Latar ceritanya adalah kerajaan di era-era dulu ketika kental akan kebangsawanan dan ketidakadilan bagi rakyat jelata. Pada buku pertama ini, isinya cukup bisa aku pahami setelah terbiasa setelah tiga hari. Awalnya aku butuh satu jam untuk membaca 2 bab yang berkisar antara 5-7 halaman dan sudah merasa bosan. Semakin hari aku bisa membaca 2 bab dalam 30 menit, bahkan membaca lebih dari 2 bab dalam sehari. Bisa jadi dari kontennya juga yang mulai lebih menarik karena konflik dimulai sehingga terasa lebih menyenangkan. Selanjutnya, buku berikutnya yang aku baca adalah buku ketiga dari series buku tersebut. Saat membeli bukunya, aku tidak menemukan buku kedua, tetapi kemudian mencoba mengisi keksosongan dari buku kedua dengan membaca review-review yang memberikan sedikit spoiler. Saat mulai membaca buku ketiga yang berjudul Rule, pembahasannya mulai lebih berat karena banyak istilah-istilah militer dan politik. Ceritanya berisi tentang usaha revolusi yang dilakukan oleh tokoh utama bersama kekasih, kakak, dan teman-temannya. Pada awalnya meskipun tidak selama 2 bab dalam satu jam, aku lebih cepat merasa bosan karena bahasa dan merasa tertinggal dari segi alur cerita. Namun, dengan komitmen harus membaca setiap hari, akhirnya aku mulai menikmatinya lagi ketika sudah masuk bab-bab pertengahan. Aku akhirnya bisa menyelesaikannya dan terbawa perasaan tokoh-tokohnya. 

***
Ada banyak hal yang aku sadari setelah proses membaca buku ini. Sebenarnya manfaatnya sudah terasa dari sebelum-sebelumnya, hanya saja sekarang aku mencoba lebih sadar dengan apa yang aku rasakan. Melalui tulisan ini, aku ingin menguraikannya dengan benar. 

Aku tidak percaya diri 
Aku sempat tidak terlalu percaya diri dengan kesukaanku yang cenderung hanya menyukai novel. Novel sebagai buku fiksi sempat membuatku merasa bahwa orang-orang yang membaca buku nonfiksi lebih hebat dan pintar karena isinya lebih bermanfaat dan insightful. Namun, beberapa tokoh literasi dan influencer buku menyampaikan bahwa membaca buku fiksi itu juga penting. Bahkan ada penelitiannya yang menyatakan bahwa membaca novel berpengaruh pada kemampuan seseorang berempati. Kalau dipikir-pikir aku mendapatkan manfaat itu. Mengilas balik pada novel yang aku baca sepanjang SMA lebih didominasi dari Wattpad meskipun tidak selalu memiliki kualitas konten yang bagus tetapi cukup membantuku mengetahui berbagai sudut pandang dan latar belakang orang. Ada beberapa yang secara penulisan dan konten bagus, tapi sedikit dan seringkali sulit ditemukan. Nyatanya, aku merasa dalam beberapa hal novel-novel Wattpad masih membantuku untuk bisa berempati. Aku jadi lebih mudah toleran pada pola pikir orang yang berbeda tapi di sisi lain juga buruknya adalah kadang terlalu toleran. Kadang juga jadi bisa banyak opsi solusi permasalahan kalau-kalau ada teman yang mengajak diskusi. 

Hanya saja aku semakin memahami bahwa banyak membaca novel saja tidak cukup. Aku merasa banyak yang belum aku ketahui dari dunia yang seharusnya bisa aku dapatkan dari membaca buku nonfiksi. Aku mengaku suka dengan sejarah tetapi kenyataannya pengetahuanku tentang itu tidak seberapa. Pada berbagai kesempatan berbincang dengan orang lain, aku juga seringkali merasa diriku tidak memaknai pendidikanku, padahal kalau dipikir-pikir sebenarnya lebih pada aku kurang banyak membaca. Referensiku masih terbatas, dan aku juga tidak banyak merekamnya sebagai suatu pengetahuan 'sadar'. Lebih pada aku ingat ketika diingatkan atau butuh waktu lama setelah diingatkan. Artinya, pengetahuan itu sebenarnya ada di alam bawah sadar tetapi tidak cukup kuat untuk dimunculkan ketika dibutuhkan. Sekarang-sekarang ini baru terasa, sih! Akhirnya jadi berusaha lebih memaknai apa yang aku pelajari baik dari lingkungan, buku, orang lain melalui menuliskannya kembali. 

Kalau kata temanku yang anak pendidikan, selama ini kita terbiasa literasi tetapi tidak literatif. Hanya sekedar membaca tetapi tidak dipahami. Juga dari sepemahamanku salah satu faktor untuk suatu hal menjadi mudah disimpan dan diingat dalam memori adalah dengan menyertakan sebuah alur dan perasaan tentang informasi itu. Selama ini aku lebih bisa mengingat cerita dari novel yang aku baca, karena ada perasaan yang terhanyut dibandingkan pengetahuan teoritis yang lebih pada aku paham tapi cenderung tidak sepenuhnya yakin bahwa hal itu ilmiah. Rasanya lebih seperti itu pengetahuan umum dibandingkan ilmu psikologi yang aku pelajari, yang pada beberapa kesempatan aku merasa bahwa itu sudah diketahui hampir semua orang. Dari segi cerita-cerita sejarah yang pernah aku pelajari, hanya sedikit yang masih bisa aku ingat. Akhirnya ketika ada pembahasan tentang dunia dan sejarahnya yang cukup menarik bagiku, aku cenderung hanya mendengar tanpa memberikan umpan balik. Dominan rasa takut salah. 

Bacaan = Tulisan
Dari proses aku membaca buku-buku, manfaat yang langsung aku rasakan bersamaan dengan intensitas membaca buku adalah tata bahasaku. Aku merasa bahwa diksi yang aku gunakan sangat dipengaruhi oleh buku apa yang sedang aku baca. Jika pada saat itu aku sedang membaca buku dengan bahasa cenderung baku, aku juga menjadi lebih formal dalam tulisan dan percapakan. Nah, ini juga aku rasakan ketika aku membaca buku Torn dan Rule yang berbahasa Inggris, jadinya lebih mudah mencerna video yang menggunakan bahasa yang lebih ilmiah. Bahkan ketika mencoba untuk merangkai kata-kata dalam tulisanku (yang berbahasa Inggris dan belum aku publikasikan) diksinya (vocabulary) menjadi lebih bervariatif meskipun belum sampai pada tahap standar kebutuhan akademis yang sangat terstruktur. Artinya memang butuh proses dan konsistensi dari membaca untuk bisa menjadi tulisan yang berbobot.  

Jadi melalui tulisan ini, aku bener-bener mau mengajak untuk membaca buku. Buku yang benar-benar dibaca dari awal sampai akhir, bukan hanya mencari secuplikan yang dibutuhkan informasinya (untuk tugas kuliah biasanya). Juga membiasakannya setiap hari, bahkan meskipun hanya satu halaman. Salah satu komika yang aku tonton baru-baru ini dalam podcast channel Yuk Ngaji, Raim Laode, juga menyampaikan itu. Dari percapakan itu, aku bisa melihat bagaimana membaca buku sangat-sangat berpengaruh pada cara berbicara orang. Meskipun, sebenarnya kalau kalian membaca sampai di sini, aku yakin kalian pasti orang-orang yang sudah suka membaca. Ada juga target yang ingin aku sampaikan disini untuk diriku adalah setiap kali aku akan berbicara di sebuah ruang publik, aku harus membekali diriku dengan membaca setidaknya lima buku. Entah secara harfiah lima buku baru atau review buku lama, tetapi itu harus diusahakan. (Oiya, lima buku ini juga terinspirasi dari ucapan Raim Laode dalam podcast yang sama).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Childhood Memories: JKT 48

Childhood Memories: Acting!

Diri yang Berkembang: Peran