Childhood Memories: You've been to Australia? Your English Must be Good

Ada masa ketika aku sangat tidak suka orang tahu aku pernah tinggal di Australia. Penyebabnya bisa ditebak dari judul tulisan kali ini. 

Ekspektasi

---

Ayahku adalah seorang mahasiswa S3 di Curtin University, Western Australia ketika aku lahir. Bukan berarti aku lahir di Aussie, aku tetap terlahir di Malang. Saat itu aku kemudian dirawat oleh eyangku dari pihak ibu karena orang tuaku bersama kakak-kakak kembali tinggal di Aussie. Berdasarkan cerita, aku diasuh oleh eyangku kurang lebih sampai umur 3 tahun kemudian dibawa tinggal bersama orang tua dan saudara-saudaraku. Tiga tahun setelahnya kami kembali ke Indonesia untuk seterusnya menetap. 

Di Australia aku sempat sekolah playgroup dan SD kelas satu karena usia masuk sekolah dasar yang berbeda. Sekolahnya tentu saja pakai bahasa Inggris tapi kalau di rumah kami sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia. Masih kecil, kemampuan berbahasaku tidak istimewa di kedua bahasa, kosa kata dan tata bahasnya cukup untuk berkomunikasi sehari-hari yang sangat sederhana, grammar masih sangat dasar, vocabulary pun terbatas.

Kembali ke Indonesia usiaku masih 6 tahun dan langsung sekolah TK tingkat B (setahun sebelum masuk SD). Belum bisa membaca dan komunikasi dengan orang asing terbatas. Sempat mengalami kesulitan berbicara dengan guru TK hingga akhirnya aku lancar membaca dan menulis (khususnya bahasa Indonesia) dalam kurang lebih setahun. Aku lulus dan melanjutkan ke SD di usia 7 tahun. 

Sekolah dasar pertamaku berlokasi sekitar seratus meter dari rumah dan siswanya adalah anak-anak yang bertinggal di sekitarnya. Jadi, mayoritas orang tahu bahwa keluargaku pernah tinggal di Australia untuk beberapa waktu. Aku ingat ketika kelas 1 atau 2 SD, saat waktu istirahat akan ada beberapa kakak kelas 5 yang memanggilku dan mengajak untuk ke ruang kelas kemudian mendudukkanku bersama mereka. Mereka selalu bertanya, "bahasa Inggrisnya baju apa?" setelah terjawab muncul pertanyaan kedua, "bahasa Inggrisnya duduk apa?". Pertanyaan-pertanyaan itu berulang beberapa kali. Awalnya aku senang sekali setiap kali dipanggil  dan diajak berkumpul bersama kakak kelas, tapi semakin lama aku mulai kesal pertanyaannya selalu sama oleh orang-orang yang sama. 

Kelas 3 aku pindah di sekolah swasta yang pernah menjadi sekolah 2 kakakku. Teman baru, suasana baru, kakak kelas baru memberikanku kelegaan terlepas dari orang-orang yang akan menanyakan hal-hal yang sama hanya karena aku pernah tinggal di luar negeri -meskipun sebenarnya tidak penting dan nyambung pertanyaannya. Kendati demikian, beberapa guru disana mengenali orang tuaku karena kedua kakak sebelumku cukup diingat, kakak-kakakku adalah sekian dari anak dosen yang pindah dari luar negeri dan menempuh pendidikan di sekolah itu. Alhasil, kalau aku tidak salah ingat, guru-guru disana secara terbuka menceritakan bahwa aku pernah tinggal di Aussie. Itu memunculkan ekspektasi teman-temanku bahwa aku pintar bahasa Inggris. 

Masalahnya adalah, ketika kami pindah ke Indonesia dan aku mulai terbiasa dengan bahasanya, aku yang masih kecil lebih jarang menggunakan bahasa Inggris di keseharian. Aku mulai kehilangan insting candaan luar negeri, jarang atau bahkan tidak pernah membaca buku-buku berbahasa Inggris selain buku pelajaran, hingga menggunakan bahasa Inggris hanya untuk tampil saja. Dan kesalahan dari situ adalah aku tidak membaca buku bahasa Inggris sehingga kosa kataku tidak bertambah. Dari sinilah aku mulai tidak suka ketika orang tahu aku pernah tinggal di luar negeri. Ekspektasi orang-orang mayoritas adalah kemampuan berbahasa Inggrisku akan sangat bagus. Padahal, pernah dalam sebuah tugas mengerjakan LKS bahasa Inggris di sekolah aku bahkan banyak sekali menjawab salah karena keterbatasan vocabulary. Ada temanku yang nilainya lebih baik dari aku. 

Mulai dari situ aku terlalu takut untuk menghancurkan ekspektasi orang-orang mengenai kemampuan itu hingga aku memilih lebih baik tidak ada orang baru yang tahu aku pernah memiliki pengalaman tinggal di luar negeri. Hal ini yang aku pastikan saat masuk SMP, tidak boleh ada teman-teman baru yang tahu. Ternyata, keberadaan teman satu kelas yang pernah tinggal di Aussie juga, akhirnya menghilangkan keenggananku mengungkapkan hal itu. Hanya kepada satu temanku itu aku terbuka tentang pengalaman di masa kecilku. Namun, ada satu peristiwa yang kembali membuatku tidak ingin lagi membahas 'pernah tinggal di luar negeri' itu. 

---

Sore itu, di dalam sebuah ruangan kelas di SMP sedang ada ekstrakurikuler bahasa Inggris. Guru pembimbing meminta kami untuk membuat sebuah puisi dan membacanya di depan semua orang. Ada satu teman dekatku (aku inisialkan dengan A) yang salah menuliskan 'my friends call me sweety' menjadi 'my friends call me sweaty', temanku yang pernah tinggal di Aussie (aku inisialkan dengan E) tertawa membaca tulisan itu. Aku dengan sok percaya dirinya ikut tertawa dan mengatakan salah tulis. Yang aku belum paham saat itu adalah arti dari kata yang salah ditulis. E kemudian bertanya, "kamu tahu artinya ini kan?" sambil tertawa. Aku hanya mengatakan, "iya, ini salah tulis." Kemudian kami terdiam saling menatap antara satu sama lain dan tulisan A. Setelahnya aku merasa malu dan ingin segera pulang karena sadar seharusnya kalau aku tahu artinya, aku pasti akan paham dengan candaan yang sebenarnya E maksud. 

---

Setelahnya, pertemanan kami baik-baik saja. Namun, aku terkadang berusaha menghindar karena masih malu. Untungnya kami tidak berlanjut di kelas yang sama di tahun berikutnya. Setidaknya itu mengurangi intensitas interaksi kami. Di tahun-tahun berikutnya, aku tidak lagi terbuka membicarakan pengalamn itu kepada teman-temanku. Aku yang biasanya antusias menceritakan detail masa kecil menjadi mencoba menutup-nutupi bagian spesifik itu. Hal ini berlanjut di SMA, meskipun pada saat itu alasan aku tidak menceritakan masa kecilku juga dipengaruhi beberapa hal lainnya. Untuk saat ini, aku sudah bisa berdamai dengan itu, bukan berarti aku akan langsung menceritakan pernah tinggal di luar negeri. Karena, ya, itu sudah sangat lama dan bukan sesuatu yang harus diceritakan juga. 

Tentang kemampuan berbahasa Inggrisku saat ini bisa dibilang cukup bagus untuk bisa memahami bacaan akademis maupun mendengarkan, tapi aku sadar masih butuh untuk dikembangkan jika pada akhirnya mau melanjutkan kuliah di luar negeri. Kalau berdasarkan pengamatanku, kemampuanku berada pada rentang menengah ke atas. Aku tidak tahu apakah ini ada pengaruh masa kecil pernah terbiasa dengan bahasa Inggris atau memang karena proses pembelajaran saja. Yang pasti, aku sudah lebih bisa untuk berkata aku bisa di bagian ini dan aku masih belum bisa di bagian lainnya sehingga aku tidak lagi takut untuk menghadapi ekspektasi orang lain, setidaknya tentang kemampuan berbahasaku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Childhood Memories: JKT 48

Tentang Menjadi Muslimah: Ikhlas

Diri yang Berkembang: Peran