About Me, Relationship and Marriage

Menulis tentang ini terlintas sehari setelah kakak laki-laki pertamaku menikah pada 6 Juni 2021 kemarin. Banyak pemikiran terlintas yang membuatku merasa mungkin lebih baik kutuliskan secara nyata agar aku bisa sekaligus menata gagasan-gagasan yang hinggap dan berperang dalam hatiku. 

Ada dua sisi dalam diriku mengenai hubungan antara sesama manusia terutama dalam lingkup terdekat berupa keluarga, baik itu yang sudah ada dan tentang kemungkinan akan adanya orang baru dalam hidupku dalam konteks pernikahan. 

Gagasan yang ada paling lama, sejak aku masih kecil adalah bahwa aku ingin menikah muda. Keinginan itu lahir karena cerita kedua orang tua kandungku menikah muda dan akhirnya memiliki jarak umur yang tidak terlalu jauh dengan keturunannya, melahirkan gagasan itu dalam ketujuh anak-anaknya. Kakak pertamaku pada akhirnya menikah di umurnya yang ke-22. Selain itu, muncul gagasan pendukung dari agamaku, Islam, dimana aku meyakini bahwasanya lebih baik untuk tidak menunda-nunda pernikahan daripada terlalu lama berada dalam kondisi yang bisa jadi mudah mendekati zina. 

Pendapat itu masih kuat sampai tahun ini ketika banyak cerita dari kedua orang tuaku, pembicaraan yang tidak sengaja kudengar serta melalui beberapa novel youngadult bertema pernikahan yang kubaca melalui sebuah platform online. Dari semua itu, aku sempat terpikir untuk hidup sendiri saja dalam artian tidak menikah. Tidak perlu manambah saudara yang terhubung dariku, tidak perlu memikirkan bagaimana nantinya menghadapi mertua, cukup aku dengan pekerjaanku dan kesendirian dimana aku bisa menjadi egois, tak perlu memikirkan kata keluarga. 

Tetapi kemudian semua gagasan itu dipatahkan kembali dengan pengetahuan bahwa dalam Islam pernikahan menyempurnakan setengah dari iman, merupakan sunnah rasul dan banyak manfaat lainnya. Selain itu, ada kesadaran dalam diriku bahwa aku merasa membutuhkan seseorang yang akan ada di sisiku sebagai orang yang mengingatkaknku, membimbingku, dan membantuku terlepas dari rasa bersalah karena ketidakmampuanku bersikap di antara kedua orang tua yang sudah bercerai. Setidaknya itu yang aku pikirkan ketika pertama menulis ini. Bisa jadi ada alasan yang lebih baik dan dewasa nantinya ketika aku bertumbuh. 

Benang merah yang paling besar menyebabkan kebimbanganku adalah perceraian kedua orang tuaku. Meskipun disuruh untuk tidak trauma, sesungguhnya aku sendiri belum bisa berkata bahwa peristiwa itu (juga yang mengikutinya) tidak mempengaruhi pemikiranku. Banyak ketakutan yang timbul dengan membawa kemungkinan baru yang bisa menjadi opsi untukku menjalani kehidupanku selanjutnya. 

Apakah aku terlalu muda untuk memikirkan tentang ini? Seharusnya tidak bukan? Bahkan salah seorang ustadz yang cukup terkenal pernah menyampaikan bahwa anak perempuannya sudah disampaikan tentang pernikahan sejak masih kecil namun dengan pengertian yang sesuai dengan umurnya. Karena menikah itu ibadah yang akan dijalani dalam durasi paling lama. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Childhood Memories: JKT 48

Tentang Menjadi Muslimah: Ikhlas

Diri yang Berkembang: Peran