Postingan

Childhood Memories: Mengabadikan Momen Menonton Konser

Pertama kalinya aku mendapatkan pengalaman menonton konser secara langsung adalah ketika berumur 13 tahun. Itu merupakan sebuah konser yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Universitas Brawijaya yang ke-52 tahun. Artis yang diundang kala itu adalah Fatin Shidqia Lubis, seorang pemenang ajang pencarian bakat, X-Factor Indonesia. Kalau istilahnya jaman sekarang, Fatin adalah artis yang paling viral di era itu sehingga mendapat kesempatan menonton langsung adalah suatu hal yang luar biasa.  *** Pada tanggal 19 Desember 2015 di malam hari sesudah serangkaian acara dies natalis dari pagi,  civitas akademika dari Universitas Brawijaya mendapatkan tiket gratis untuk masuk menonton konser pada malam hari. Ayahku yang merupakan seorang dosen dan saat itu memiliki jabatan di salah satu unit di kampus mendapatkan kesempatan mengajak keluarga masuk di area VIP. Awalnya hanya bisa dua orang yang masuk area VIP, tapi karena banyak tamu undangan yang tidak hadir pada segmen itu dan ...

Tentang Menjadi Muslimah: Tokoh Penting Hidup sampai Akhir

Dulu, aku seringkali punya pikiran begini,  Mana mungkin orang-orang penting akan hidup sampai akhir seperti dalam berbagai film, drama, dan novel.  Pemikiran itu terlintas dewasa ini sesudah terpapar banyak konten hiburan yang berisi tentang zaman kerajaan. Biasanya kemenangan dan kehidupan yang lebih stabil didapatkan sesudah melalui peperangan. Aku selalu merasa tidak realistis ketika semua tokoh penting tetap hidup sampai mendapatkan kemenangan. Hingga sampai pada sebuah buku yang aku pinjam dari seorang teman tentang sejarah Islam. Buku yang aku baca itu membawaku pada sebuah perenungan. Kesimpulan bahwa tokoh-tokoh penting bertahan sampai akhir itu nyata adanya. Tidak ada yang tidak realistis dari hal itu. Tidak hanya kisah fiktif yang membuat hampir semua tokoh baik hidup sampai masa kejayaan.  *** Pada saat itu di tengah proses skripsian, aku prokrastinasi dengan mencari berbagai hal yang bisa dilakukan selain menulis tugas akhir itu. Pelarian yang cukup mudah dan...

Childhood Memories: Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar

Aku selalu menyukai berbagai hal yang berhubungan dengan bahasa. Aku suka membaca, menulis, dan mengoreksi kaidah kebahasaan. Kesukaanku tidak terbatas pada bahasa Indonesia saja, aku juga suka dengan bahasa asing maupun daerah. Namun, itu bukan berarti aku mahir dalam semuanya, lebih pada aku suka dengan proses sehari-hari yang berhubungan dengan linguistik. Aku suka menyerap kata-kata baru dan sesegera mungkin menggunakannya. Kadang ada masa ketika aku melupakan diksi yang lebih umum dan berakhir menggukaan padanan kata yang terlalu baku. Kendati demikian, hal ini juga bergantung pada konteks dan sumber bacaan yang sedang aku nikmati dalam kurun waktu itu. Nah, karena aku lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, aku punya lebih banyak ingatan tentang itu di masa kecil.  Salah satu indikator aku sangat menyukai kebahasaan adalah dari bagaimana hampir selalu lebih ingat dengan materi sekolah tentang bahasa Indonesia. Di waktu SMP misalnya, ketika teman-temanku lupa cara menuliska...

Diri yang Berkembang: Novel, Empati, dan Bahasa

Tulisan kali ini diawali dengan tujuan melanjutkan series Diri yang Berkembang tentang Daily Planner. Terhitung satu bulan lebih sejak aku pertama menata kembali aktivitas harianku melalui pembuatan jadwal di hari sebelumnya. Nah, ini adalah evaluasi sekaligus apresiasi untuk diriku sendiri.  Disiplin dengan Daily Planner nyatanya tidak semudah itu dan sering aku membuat kompromi dengan diriku sendiri. Mungkin lebih tepat untuk aku katakan justifikasi (alasan) bahwa aku setidaknya masih melakukannya. Pernah ada fase dalam rentang sebulanan ini aku melewatkan membuat jadwal selama empat hari dan berakhir aku mengais-ngais memori kegiatan dan perasaanku pada hari yang aku lewatkan. Satu komitmen yang tidak boleh hilang dari proses ini adalah setiap hari harus ada catatannya entah banyak atau sedikit atau kapan waktu menuliskannya. Jadi, ya aku tetap harus mencatatnya seingatku. Pada saat melewatkan membuat jadwal, pengaruhnya memang signifikan. Aku jadinya juga lupa kegiatan wajib ya...

Childhood Memories: When Naruto was One Of My Priority

"Aku bukan Wibu", pernyataan yang pernah seringkali diucapkan di lingkaran pertemananku pada masanya. Seingatku itu terjadi sepanjang tiga tahun terakhir di sekolah dasar dan selama SMP. Padahal, aku sebenarnya bukan orang yang terlalu mengikuti anime, teman-temanku lebih paham. Namun, karena aku ada di situ, ya jadi ngikut dalam berbagai pembahasan tentang anime yang sedang ramai. Disitu aku juga merasakan sebuah perjuangan dan kecintaan yang besar pada suatu hal yang tidak benar-benar nyata, Naruto.  *** Pada saat itu, di rumahku belum ada wifi atau setidaknya 'fasilitas' itu hanya digunakan untuk kebutuhan yang penting. Tidak termasuk mengunduh film, anime, atau segala jenis tontonan hiburan. Sekedar konteks tambahan, pada zaman itu biasanya aku menonton film ketika kakakku ada yang -entah dapat dari mana- punya file film. Pilihan lainnya hanya menonton apapun yang ada di televisi.  Pada satu waktu, sedang masanya Naruto naik daun (yang benar-benar se- booming itu...

Diri yang Berkembang: Membuat Daily Planner

Aku bertumbuh. Di saat bersamaan, banyak hal terjadi dan berpengaruh pada bagaimana kehidupan sehari-hariku. Bagaimana aku pernah menjadi idealis dengan kegiatanku, menjadi longgar dan tidak terlalu peduli dengan jadwal harian, menjadi 'yang penting kerjaan selesai', sampai sekarang aku sedang mencoba untuk menertibkan diriku lagi.  Banyak referensi yang mendorong kenapa aku mau mencoba menjadi lebih disiplin dengan diriku sendiri. Salah satu yang memegang peranan penting adalah tentang target dan rencana dalam beberapa waktu kedepan. Target lulus kuliah, misalnya. Beberapa inspirasi dari tokoh-tokoh yang aku tonton di media sosial tapi sebelumnya hanya aku simpan tanpa tindakan.  Sebuah  quotes  yang aku dengar dari Pandji Pragiwaksosno dalam beberapa  podcast  yang beliau kutip juga dari buku orang lain (yang aku lupa siapa).  Disiplin itu Membebaskan  Kak Zhafira Aqila yang sedemikian inspiratif dan salah satu yang beliau coba sebarkan ada...

Diri yang Berkembang: Menjadi Netral?

Aku mau menjadi orang yang baik. Bukankah kita semua bermula dengan memiliki keinginan itu? Atau hanya aku saja? Atau mungkin kita menggunakan istilah yang berbeda untuk definisi yang sama. Atau sebaliknya, kita menggunakan istilah yang sama untuk definisi yang berbeda?  Bagiku, setidaknya saat pertama menuliskan ini, definisi menjadi orang baik adalah yang tidak mengganggu orang lain, dapat diterima, dan menerima. Kalau dipikir kembali, definisi baik menurutku juga masih rancu. Nyatanya, 'baik' mungkin tidak akan memiliki definisi absolut karena itu adalah sebuah persepsi. Lalu, aku membawa pertanyaan ini lebih jauh, "bisakah kita menjadi orang yang netral?" Kalau dipikir definisiku menjadi orang baik itu adalah orang yang selalu netral. Namun jika dipikirkan kembali, kita tidak akan mungkin benar-benar bisa berada di tengah. Manusia itu subjektif. Kita akan selalu dipengaruhi oleh kepercayaan, budaya, dan lingkungan kita.       Pertanyaan dan tulisan ini sudah...