Postingan

Childhood Memories: Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar

Aku selalu menyukai berbagai hal yang berhubungan dengan bahasa. Aku suka membaca, menulis, dan mengoreksi kaidah kebahasaan. Kesukaanku tidak terbatas pada bahasa Indonesia saja, aku juga suka dengan bahasa asing maupun daerah. Namun, itu bukan berarti aku mahir dalam semuanya, lebih pada aku suka dengan proses sehari-hari yang berhubungan dengan linguistik. Aku suka menyerap kata-kata baru dan sesegera mungkin menggunakannya. Kadang ada masa ketika aku melupakan diksi yang lebih umum dan berakhir menggukaan padanan kata yang terlalu baku. Kendati demikian, hal ini juga bergantung pada konteks dan sumber bacaan yang sedang aku nikmati dalam kurun waktu itu. Nah, karena aku lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, aku punya lebih banyak ingatan tentang itu di masa kecil.  Salah satu indikator aku sangat menyukai kebahasaan adalah dari bagaimana hampir selalu lebih ingat dengan materi sekolah tentang bahasa Indonesia. Di waktu SMP misalnya, ketika teman-temanku lupa cara menuliskan ma

Diri yang Berkembang: Novel, Empati, dan Bahasa

Tulisan kali ini diawali dengan tujuan melanjutkan series Diri yang Berkembang tentang Daily Planner. Terhitung satu bulan lebih sejak aku pertama menata kembali aktivitas harianku melalui pembuatan jadwal di hari sebelumnya. Nah, ini adalah evaluasi sekaligus apresiasi untuk diriku sendiri.  Disiplin dengan Daily Planner nyatanya tidak semudah itu dan sering aku membuat kompromi dengan diriku sendiri. Mungkin lebih tepat untuk aku katakan justifikasi (alasan) bahwa aku setidaknya masih melakukannya. Pernah ada fase dalam rentang sebulanan ini aku melewatkan membuat jadwal selama empat hari dan berakhir aku mengais-ngais memori kegiatan dan perasaanku pada hari yang aku lewatkan. Satu komitmen yang tidak boleh hilang dari proses ini adalah setiap hari harus ada catatannya entah banyak atau sedikit atau kapan waktu menuliskannya. Jadi, ya aku tetap harus mencatatnya seingatku. Pada saat melewatkan membuat jadwal, pengaruhnya memang signifikan. Aku jadinya juga lupa kegiatan wajib yang s

Childhood Memories: When Naruto was One Of My Priority

"Aku bukan Wibu", pernyataan yang pernah seringkali diucapkan di lingkaran pertemananku pada masanya. Seingatku itu terjadi sepanjang tiga tahun terakhir di sekolah dasar dan selama SMP. Padahal, aku sebenarnya bukan orang yang terlalu mengikuti anime, teman-temanku lebih paham. Namun, karena aku ada di situ, ya jadi ngikut dalam berbagai pembahasan tentang anime yang sedang ramai. Disitu aku juga merasakan sebuah perjuangan dan kecintaan yang besar pada suatu hal yang tidak benar-benar nyata, Naruto.  *** Pada saat itu, di rumahku belum ada wifi atau setidaknya 'fasilitas' itu hanya digunakan untuk kebutuhan yang penting. Tidak termasuk mengunduh film, anime, atau segala jenis tontonan hiburan. Sekedar konteks tambahan, pada zaman itu biasanya aku menonton film ketika kakakku ada yang -entah dapat dari mana- punya file film. Pilihan lainnya hanya menonton apapun yang ada di televisi.  Pada satu waktu, sedang masanya Naruto naik daun (yang benar-benar se- booming itu

Diri yang Berkembang: Membuat Daily Planner

Aku bertumbuh. Di saat bersamaan, banyak hal terjadi dan berpengaruh pada bagaimana kehidupan sehari-hariku. Bagaimana aku pernah menjadi idealis dengan kegiatanku, menjadi longgar dan tidak terlalu peduli dengan jadwal harian, menjadi 'yang penting kerjaan selesai', sampai sekarang aku sedang mencoba untuk menertibkan diriku lagi.  Banyak referensi yang mendorong kenapa aku mau mencoba menjadi lebih disiplin dengan diriku sendiri. Salah satu yang memegang peranan penting adalah tentang target dan rencana dalam beberapa waktu kedepan. Target lulus kuliah, misalnya. Beberapa inspirasi dari tokoh-tokoh yang aku tonton di media sosial tapi sebelumnya hanya aku simpan tanpa tindakan.  Sebuah  quotes  yang aku dengar dari Pandji Pragiwaksosno dalam beberapa  podcast  yang beliau kutip juga dari buku orang lain (yang aku lupa siapa).  Disiplin itu Membebaskan  Kak Zhafira Aqila yang sedemikian inspiratif dan salah satu yang beliau coba sebarkan adalah tentang Planner-nya. Vinh Giang,

Diri yang Berkembang: Menjadi Netral?

Aku mau menjadi orang yang baik. Bukankah kita semua bermula dengan memiliki keinginan itu? Atau hanya aku saja? Atau mungkin kita menggunakan istilah yang berbeda untuk definisi yang sama. Atau sebaliknya, kita menggunakan istilah yang sama untuk definisi yang berbeda?  Bagiku, setidaknya saat pertama menuliskan ini, definisi menjadi orang baik adalah yang tidak mengganggu orang lain, dapat diterima, dan menerima. Kalau dipikir kembali, definisi baik menurutku juga masih rancu. Nyatanya, 'baik' mungkin tidak akan memiliki definisi absolut karena itu adalah sebuah persepsi. Lalu, aku membawa pertanyaan ini lebih jauh, "bisakah kita menjadi orang yang netral?" Kalau dipikir definisiku menjadi orang baik itu adalah orang yang selalu netral. Namun jika dipikirkan kembali, kita tidak akan mungkin benar-benar bisa berada di tengah. Manusia itu subjektif. Kita akan selalu dipengaruhi oleh kepercayaan, budaya, dan lingkungan kita.       Pertanyaan dan tulisan ini sudah menja

Childhood Memories: Acting!

Bermain peran adalah salah satu hal yang ingin aku lakukan ketika sekolah dasar. Keinginan itu bisa jadi berasal dari kesukaanku pada storytelling yang juga mengharuskan aku secara tidak langsung bermonolog disamping menyampaikan narasi cerita. Juga, banyak hal tentang acting yang sangat menarik bagiku. Lalu ketika aku kelas lima, sebuah ekstrakurikuler baru muncul di sekolah yang bernama BK.  *** Bina Karya, sebuah ekstrakurikuler baru yang muncul untuk membangun minat dan bakat dalam ekspresi sastra melalui media manusia. Pembina yang pertama seingatku adalah guru bahasa Indonesia yang kemudian mengajarkan tentang membaca puisi dengan indah sebagaimana diksi dan pesan yang ada di dalamnya. Aku tak seberapa ingat mengenai awal mula mengikuti ekstrakurikuler itu, tapi ada beberapa pengalamanku seiring berjalannya keikutsertaan dalam kegiatan itu. Selanjutnya, dalam waktu sekitar satu bulan, sekolah mempekerjakan seorang pelatih yang sudah mahir dalam dunia teater. Arah ekstrakurikule

Childhood Memories: JKT 48

Kelas 4 Sekolah Dasar, pertama kali ada tugas seni budaya yang mengharuskan tampil menari dan menyanyi sebagai salah satu tugas besar di semester itu. Pada saat yang bersamaan, masa-masa itu sedang ramai-ramainya JKT 48. Disinilah bermula cerita aku yang sangat percaya diri tampil di depan kelas bersama tiga teman lainnya membawakan tarian dan nyanyian dari girlband beranggotakan sangat banyak orang itu.  *** Guruku saat itu adalah salah satu yang masih sangat muda tapi kami anggap cukup strict dengan nilai. Diberikannya kami tugas untuk menampilkan sebuah tarian modern di depan kelas dengan tidak adanya kriteria spesifik. Kami kemudian diberikan kebebasan untuk membentuk kelompok beranggotakan 4-6 siswa. Bersama dengan ketiga teman dekatku, aku akhirnya menjadi satu kelompok dengan cepat.  Awalnya kami masih clueless tentang apa yang kiranya akan ditampilkan. Pada saat itu kami pun mendengar kelas lain sudah mendapatkan arahan terkait tugas yang sama. Kami penasaran. Siapa tahu kelas