Kukira Aku Gabisa Menulis Fiksi Lagi

Aku suka menulis, jelas. Tapi ada persoalan yang aku kira sangat bertentangan namun nyatanya tidak. Persoalan itu kubuat sendiri karena pikiran yang masih dangkal. Tapi setelah ada beberapa hal, aku jadi sadar. Itu bukan sebuah permasalahan. Yang sebenarnya, begini ceritanya.

Aku sudah menulis sejak kecil. Menulis dalam artian sebuah cerita. Sebenarnya tidak terlalu kecil, kelas 4 SD lebih tepatnya. Pernah aku menulis sebuah cerita yang ku bayangkan sebagai novel. Padahal itu mungkin tidak sampai 1000 kata. Hanya dalam sebuah buku kecil yang kubuat sendiri dari memotong jadi dua beberapa lembar kertas HVS A4 kemudian kulipat lagi menjadi dua. Aku ingat judul cerita itu terinspirasi dari kelasku dan lingkup pertemananku saat itu, "4 Beast Around The World". Walau sebenarnya maksudku adalah "4 Best Around The World". 

Sekilas cerita, saat itu aku sangat percaya diri menuliskan di papan tulis ruang kelasku 4Beast. Kemudian ketika seorang guru datang, dalam ingatanku dia seorang guru laki - laki, ia bilang, " 4 Beast? mungkin maksudnya ngga pakai a?" dengan nada yang bersahabat hingga aku dangan sendirinya sadar, oh jadi selama ini aku salah. Dari situ aku dengan bangganya memamerkan sebuah buku mini dengan judul itu dan gambar 4 wajah perempuan. Saat itu memang teman dekatku ada tiga sehingga jika digabung dengan aku genap empat. 

Selanjutnya aku jadi semakin sering membuat buku buku kecil dan kutukarkan dengan gambar teman - temanku. Diantara kami berempat memang akulah yang paling payah menggambar namun sedang giat - giatnya menulis. Setelah semua itu, aku yang sudah memiliki email -yang aku tahu sebenarnya masih ilegal- dengan bangganya mencoba membuat sebuah blog. Saat itu aku tidak tahu cara kerja blog yang sebenarnya sehingga setiap ada cerita baru aku akhirnya membuat blog baru. Link blognya bahkan sangat aneh dengan berbagai bahasa alay yang kuingat dari sebuah sinetron yang sedang ramai masa itu. Seingatku ada tiga atau empat blog dengan laman yang berbeda. Artinya ada tiga atau empat cerita -yang akhirnya aku ketahui adalah sebuah cerpen, sepanjang apapun itu jika tak sampai 10.000 kata-. Kemudian aku selalu menarik pembaca dengan mengirim linknya di facebook. 

Semasa itu, aku bahkan pernah ada mendapat kesempatan menerbitkan sebuah buku melalui ibu dari temanku. Saat itu aku sudah kelas 6. Ibu temanku itu meminta agar aku membuat sebuah cerita khusus untuk diterbitkan nanti, mungkin dengan kumpulan cerpen yang lainnya. Aku dengan polosnya membuat sebuah cerita -yang mungkin terpanjang dalam sejarah hidupku sampai SMP- dengan tulisan tangan. Aku menulisnya dalam sebuah buku tulis 38 lembar kosong hingga terisi lebih dari setengahnya. Namun, sebuah masalah yang menimpa keluarga temanku itu hingga akhirnya tidak ada kabar sebelum aku sempat memberikan tulisanku. Dari situ aku mulai berpikir daftar cita - citaku bertambah satu, yaitu menjadi penulis. 

Berlanjut ke SMP, 'karier' menulisku berubah arah. Aku entah mengapa berhenti membuat blog kala itu. Aku tidak menulis cerpen lagi meski selalu tertarik apabila guru Bahasa Indonesiaku memberikan tugas yang terkait dengan membuat atau menganalisisnya. Hingga di awal semester ganjil kelas 8 ada sebuah BC-an yang mengundang siapapun untuk terlibat dalam majalah sekolah. Awalnya aku hanya diam-diam tertarik. Belum berani mendaftarkan diri hingga teman dekatku sejak SD menanyakan padaku. Dia juga mau bergabung. Senang sekali tentunya hingga akhirnya menuliskan namaku dalam daftar. 

Dalam pikirku, aku akan kembali menuliskan cerpen yang banyak. Namun nyatanya bukan itu yang aku lakukan. Faktanya, aku menjadi salah satu dari penggagas kembalinya mading sekolah yang artinya aku harus siap tergabung dalam sebuah organisasi. Tak hanya itu, karya yang akan aku berikan bukanlah fiksi melainkan berita maupun artikel yang penuh dengan fakta dan data. 

Aku tak menyangka akhirnya menjadi seorang jurnalis, bukan penulis cerpen fiksi. Awalnya kebingungan hingga mulai terbiasa dengan tulisan yang berdasarkan peristiwa nyata. Dari situ aku merubah haluan karyaku menjadi sebuah tulisan dengan kejadian dan riset. Aku bahkan dipercaya oleh guru pembimbing organisasi majalah itu sebagai salah satu jurnalis terbaik yang dimiliki sekolah saat itu. Aku yang dikirim untuk lomba membuat artikel adiwiyata sekolah. Aku tidak memenangkannya namun cukuplah itu jadi sebuah pengalaman baru di penghujung SMP.

Lulus kemudian melanjutkan ke SMA. Ada dua organisasi yang selaras dengan kegemaranku menulis. Organisasi Pers atau Forum Sastra. Bingung menentukan, bahkan terpikir untuk mengikuti keduanya sekalian. Namun, ibuku mengatakan lebih baik bagiku untuk melanjutkan menjadi jurnalis saja. Kalau ikut keduanya, terlalu banyak ekskul karena sudah ada bidang lain yang aku masuki. Dan akhirnya aku memilih masuk organisasi Pers Sekolah. 

Dalam organisasi itu aku mendapat banyak kesempatan mencantumkan tulisanku dalam majalah sekolah berupa berita. Aku juga mengikuti beberapa lomba meski, yah, aku belum pernah menang. Membaca tulisanku dan membandingkan dengan kakak kelasku, artikel maupun berita yang aku buat memang tak semenarik miliknya. Kakak kelasku itu hampir selalu memenangkan perlombaan. Sayangnya, itu mematahkan semangatku untuk kembali mengikuti lomba. Cukup aku terus menulis saja untuk sekolah. 

Dari situ, aku terpikir bahwa hobi menulisku memang untuk menjadi jurnalis dan bukannya karya sastra fiksi. Namun bahkan dalam hal itu aku tak memiliki kemampuan lebih. Sampai kakakku pernah bertanya kepadaku, "ngga nyoba nulis-nulis cerita?"
Aku justru menjawabnya, "engga kayanya. Kebiasaan nulis berita sama artikel jadinya kalau nulis cerpen malah bingung karena bahasa dan cara memulainya berbeda." Pikirku dalam hati, cerpen yang telah kubuat selama SMA ini tidak sebegitu bagusnya. Bahkan ada yang sangat kurang dari segi struktur penulisan. Hanya berupa lompatan-lompatan peristiwa. 

Hingga sebuah tugas menyadarkanku. Di penghujung kelas 11 aku mendapat tugas menuliskan sebuah teks cerita sejarah. Guruku memberikan opsi untuk menulis fiksi berupa cerpen atau non fiksi berupa eksplanasi. Tugas itu berhubungan dengan pelajaran lain mengenai tokoh yang telah berbuat kebaikan selama masa Covid-19. Dan aku memilih seorang dokter yang bukan public figure. Teman-temanku rata-rata memilih seseorang yang bisa dicari biodatanya di internet sehingga mereka bisa membuat sebuah biografi. Namun aku hanya dapat menemukan data dokter itu sebatas nama, spesialisasi, dan tempat kerjanya. Dari situ aku terpikir mungkin aku membuat cerpen saja. 

Akhirnya aku membuat sebuah cerpen yang kemudian hasilnya sebelum kukumpulkan kutanyakan pada sahabatku yang bersedia membacanya. Hasilnya, sebuah kalimat dia ucapkan membuatku merasa sangat senang, "flow ceritamu bagus." Aku sempat tak menyangka. Biasanya cerpenku sedikit terkesan nyambung-tidak nyambung.  Tapi dengan sahabatku berkata begitu aku jadi sadar. Apa yang sudah kukatakan pada kakakku kala itu salah. 

Menulis berita dengan karya sastra memang berbeda. Namun, caranya tergantung bagaimana kita yang beradaptasi dalam menulisnya. Sebenarnya ilmu dalam menulis peristiwa nyata sangat berguna ketika menulis fiksi. Kebiasaan melakukan riset untuk artikel membuat kebiasaan yang sama untuk menulis cerita dengan latar dan suasana yang terasa nyata. Yah, hanya perlu terbiasa menulis sehingga dapat membuat runtutan cerita yang kronologis. Sedikit berbeda bukan berarti ilmunya tak bisa saling digunakan dalam satu dan lainnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Childhood Memories: JKT 48

Tentang Menjadi Muslimah: Ikhlas

Diri yang Berkembang: Peran