Hilang #Cerpen

    Langit yang sudah memerah oleh sisa-sisa cahaya matahari yang terbiaskan awan menyajikan pemandangan tak terlupakan. Batas samudera dengan langit tak lagi bisa dibedakan. Matahari yang akan kembali bersembunyi dipantulkan air dengan indahnya. Tak ada orang yang akan melewatkan lukisan Tuhan yang ditunggu-tunggu setiap pengunjung yang datang ke pantai.

Sayangnya pada hari itu tak ada orang yang tertarik untuk melihatnya. Semua gundah, bahkan sore itu diwarnai tangisan akan hilangnya seorang diantara salah satu rombongan pengunjung mahasiswa. Mereka terus berteriak memanggil sebuah nama yang tidak tampak sejak terakhir ia pergi berjalan di sekeliling pantai seorang diri. 

Anggika, mahasiswi yang tengah berlibur bersama teman-temannya, adalah nama orang yang dicari semua orang. Sejak disadari ketiadaannya selama beberapa jam tidak kembali, sahabatnya, Aurel, langsung menyampaikannya pada teman-teman yang lain. Itu sudah tiga jam yang lalu. Awalnya semua berharap Anggika akan kembali ketika waktu kepulangan yang sudah disepakati bersama. Ternyata hingga waktu mereka akan pulang ia tak kunjung menunjukkan diri membuat semua panik. 

Anggika merupakan mahasiswa yang memiliki postur tubuh langsing setinggi 166 cm dengan rambut panjang sepunggung berwarna hitam dan berkulit sawo matang. Semua orang yang mengenalnya tahu Ia selalu memakai jam di tangannya ketika bepergian hingga selalu menjadi pengingat rundown acara yang sedang dihadirinya. 

Matahari sudah menyerahkan tugas pada bulan, pencarian seorang mahasiswa dari salah satu universitas ternama di kota Malang tak kunjung membawa hasil. Semua orang sudah mencari kemanapun yang bisa menjadi tujuan dari perempuan bernama Anggika akan datangi. Saat itu mereka sudah hampir menyerah hingga seorang tim SAR yang membantu pencarian menghampiri menanyakan sebuah pertanyaan yang sempat ditanyakan di awal. Kali ini petuga itu membawa seorang warga yang berjualan di pantai tersebut hari ini.

“Maaf, coba diingat lagi tadi temannya pakai baju apa, ya? Mungkin bapak ini tadi melihat, beliau biasanya paling sering nemu orang yang tersesat di daerah pantai sini ”

“Pakai baju hijau, Pak,” jawab Aurel dengan ragu. Warga itu terdiam sesaat kemudian menunjukkan wajah prihatinnya. 

“Maaf, Dek, bisa jadi teman kalian hilang.  Tidakkah kalian pernah mendengar bahwa siapapun yang datang ke pantai selatan Pulau Jawa tidak boleh memakai pakaian apapun berwarna hijau untuk menghormati Nyi Roro Kidul yang sangat menyukai warna itu.  Bagi siapapun yang memakai pakaian berwarna hijau bisa hilang dibawa oleh Nyi Roro Kidul,” jelas pria paruh baya itu.  “Makanya kalau datang ke manapun itu dipelajari dulu segala macamnya.  Kalau sudah begini kan repot semuanya.  Sudahlah tidak perlu dicari lagi!  Kalaupun temanmu datang itu adalah kemurahan dari Nyi Roro Kidul yang mendiami laut selatan Pulau Jawa.”

Aurel kembali menangis. Ia ingat sudah menyampaikan hal itu pada Anggika tetapi sahabatnya itu tidak peduli.  Ia tidak percaya hal itu akan benar-benar terjadi.  Anggika yakin selama ia bersikap baik maka tidak perlu takut akan hal tersebut.  Siapa sangka kejadian tak terduga ini terjadi.  

Akhirnya rombongan itu memilih untuk pulang dengan informasi itu. Namun semua sibuk memikirkan bagaimana mereka akan menyampaikan pada orang tua Anggika. Akankah mereka bercerita dengan menyalahkannya atau hanya menyampaikan duka. Kegelisahan itu membuat mereka semua diam dalam mobil dengan tujuan utama ke rumah teman mereka itu.  

Sesampainya di kediaman orang tua Anggika, mereka semua turun dengan wajah yang sedih sekaligus bingung.  Berjalan bersama-sama menuju pintu berwarna putih berjarak lima meter dari pagar. Ketika sudah berdiri di teras rumah, tak ada yang mau mengetuk pintu terlebih dahulu.  Hingga Aurel memberanikan diri sembari mengucap salam kemudian menunggu pintu terbuka. 

“Selamat malam,” sebuah suara yang membuat rombongan mahasiswa itu langsung menatap ke arah sumber suara.  Semua terdiam dengan perasaan campur aduk melihat sosok yang bersuara dengan ramah menyambut kedatangan tamu. 

Brakk

“Aurel…!” teriak semua orang melihat sang pemilik nama pingsan di tempat.  

“Eh…  ayo tolong dibawa ke dalam. Kenapa bisa pingsan gini, sih, Aurelnya?”

Beberapa yang laki-laki membopongnya ke dalam. Aurel ditidurkan di kamar tamu rumah sederhana berwarna krem itu.  Mereka yang laki-laki kembali ke ruang tamu menyisakan sang pemilik rumah dan beberapa teman perempuan. Untungnya ia tak pingsan lama. Ketika bangun, Ia langsung bangkit memeluk salah satu perempuan yang menunggunya sadar. 

“Anggika…,” sebut Aurel sambil menangis mengeratkan pelukannya. 

“Aurel, kamu kenapa tiba-tiba nangis gini? Harusnya kan kamu kembali dengan senyuman karena udah refresh pikiran setelah mantai. Kenapa malah nangis?” 

“Kok, lo, bisa disini, sih?  Kita semua nyariin lo tahu nggak… hiks… terus, lo, dengan santainya bilang kenapa gue nangis. Gimana gue bisa refresh pikiran kalau sibuk nyariin lo, khawatir sama lo, dan bingung bakal ngomong apa ke nyokap lo.”

“Ngapain kalian nyariin aku?” ucap objek pembicaraan ini sambil mengedarkan pandangan ke semua yang ada di dalam kamar. 

“Lo masih nanya kenapa kita nyariin, lo? Lo ngilang gitu aja dari pantai dan karena lo pakai baju hijau, penjaga disana sampe bilang kalau lo nggak bakal balik.”

“Maksud kamu apasih, Rel? Aku kan ngga ikut kalian mantai.  Aku kan harus jaga rumah karena tadi mau ada yang nitipin barang dan orang tuaku pergi ke luar kota.” 

Semuanya terkejut mendengar penjelasan Anggika. Iya, orang yang dipeluk Aurel dan tengah dibicarakan saat itu adalah Anggika, orang yang mereka cari selama berjam-jam di pantai tadi sore. Tak berhenti di situ, mereka semua menuju ruang tamu untuk mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi.  

“Jadi, lo dari tadi pagi ngga ikut mantai?” tanya salah satu teman laki-laki setelah Anggika menjelaskan. Jawaban yang mereka dapat adalah anggukan. Semua yang ada di situ terdiam saling pandang. Pandangan heran juga horor yang semakin membuat Anggika bingung dengan situasi yang sedang terjadi. 

“Terus kalau gitu yang dari tadi pagi pergi sama kita siapa?”

“Maksudnya?”tanya Anggika meminta penjelasan. 

“Anggika emang nggak ikut kita mantai!” teriak salah seorang diantara mereka yang memandangi kameranya. Semua menolehkan pandangan padanya. “Di semua foto yang ada di kameraku, Anggika nggak ada.” 

Suasana semakin menegang membuat mereka merinding. Beberapa menelan salivanya dengan susah payah hingga sebuah suara berucap, “terus orang yang dari pagi kita lihat bareng-bareng…”

“itu siapa?”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Childhood Memories: JKT 48

Tentang Menjadi Muslimah: Ikhlas

Diri yang Berkembang: Peran